Pendidikan Tinggi sebagai Kebutuhan “Tersier” dan Ancaman Bonus Demografi
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Tehnologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie mengenai “pendidikan tinggi ialah tertiary education, bukan wajib belajar, tapi opsi” memetik pro-kontra. Masalahnya pengakuan yang menempatkan pendidikan tinggi sebagai hal tersier sama seperti dengan pemerintahan menjelaskan pendidikan tinggi itu seakan-akan tidak demikian penting.
Pengakuan itu ada karena ongkos pendidikan tinggi semakin hari semakin mahal. Mengakibatkan, banyak calon mahasiswa yang memundurkan diri karena tidak sanggup untuk bayar, mahasiswa yang terancam drop-out dan dipaksakan cuti, dan mahasiswa yang dibelit utang online dengan bunga yang mencekik untuk bayar tunggakan UKT. Pasti berita yang paling ironis ada mahasiswa wafat karena sakit hipertensi karena depresi tidak dapat bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Masalah sulit ongkos pendidikan mahal ini terus akan terulang lagi. Apalagi ongkos kuliah setiap tahun diprediksikan akan alami peningkatan. Berdasar laporan Penelitian Libang Kompas tahun 2022, orangtua Indonesia di masa datang semakin susah mengongkosi baca selengkapnya kuliah anaknya. Peningkatan ongkos pendidikan perguruan tinggi yang menjadi standar Kompas sekitar naik 6,03 % /tahun rupanya tidak sanggup disertai oleh kenaikan upah warga. Apalagi, kenaikannya capai 50-100% sama seperti yang ramai saat ini, karena itu dapat ditegaskan perguruan tinggi jadi menara gading, elitis, dan susah dijangkau masyarakat kecil.
Walau sebenarnya angka keterlibatan kasar perguruan tinggi (APK PT) di Indonesia masih demikian rendah. Angka APK PT pada 2024 sejumlah 39,37 % (Kemendikbudristek, 2022), di bawah rerata global yang capai 40 % (UNESCO, 2020). Bahkan juga, APK PT Indonesia termasuk rendah dibanding beberapa negara tetangga, seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 %).
Setiap tahun, jumlah lulusan SMA/SMK di Indonesia sekitaran 3,tujuh juta, namun cuma sekitaran 58 % yang meneruskan ke tingkatan pendidikan tinggi. Faktor ekonomi jadi masalah khusus. Beberapa pada mereka yang tidak meneruskan ke tingkatan pendidikan tinggi asal dari keluarga tidak sanggup. Cukup banyak pada mereka yang dapat meneruskan ke tingkatan pendidikan tinggi juga hadapi permasalahan berkaitan tingginya ongkos kuliah (Kompas, 30/1/2024).
Keadaan ini melebarkan kesenjangan, dan batasi mobilisasi vertikal sosial-ekonomi warga bawah. Dengan rasio warga berpendidikan S-2 dan S-3 pada populasi produktif 0,45 %, susah untuk kita berbicara alih bentuk ke arah Indonesia Emas. Malah, yang menghantui kita jika ongkos pendidikan semakin tidak dapat dijangkau ialah lahirnya angkatan kuatir dan teror bonus demografi.
Dengan begitu, tempuh pendidikan tinggi sepantasnya lebih dilihat sebagai keperluan yang terpenting untuk warga Indonesia. Karena, bersamaan dengan perubahan jaman tuntutan pada kemampuan, ketrampilan, pengetahuan semakin. Dalam masalah ini, tidak pantas bila pendidikan tinggi dipandang seperti hal yang tidak penting untuk angkatan penerus bangsa.